Jumat, 22 April 2016

Hukum Perjanjian

Hukum Perjanjian

BAB 1 PENDAHULAN

1.1       LATAR BELAKANG
Hukum perjanjian sering diartikan sama dengan hukum perikatan. Hal ini berdasarkan konsep dan batasan definisi pada kata perjanjian dan perikatan. Pada dasarnya hukum perjanjian dilakukan apabila dalam sebuah peristiwa seseorang mengikrarkan janji kepada pihak lain atau terdapat dua pihak yang saling berjanji satu sama lain untuk melakukan suatu hal.

Sedangkan, hukum perikatan dilakukan apabila dua pihak melakukan suatu hubungan hukum, hubungan ini memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk memberikan tuntutan atau memenuhi tuntutan tersebut.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum perjanjian akan menimbulkan hukum perikatan. Artinya tidak akan ada kesepakatan yang mengikat seseorang jika tidak ada perjanjian tertentu yang disepakati oleh masing masing pihak.

1.2   TUJUAN MASALAH
Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang :
1.      Hukum Perjanjian

1.3   RUMUSAN MASALAH
1.      Apa saja syarat syahnya perjanjian ?
2.      Bagaimana pembatalan suatu perjanjian ?
3.      Kapan saat lahirnya perjanjian ?
4.      Kapan pelaksanaan suatu perjanjian ?
5.      Apa wanprestasi ?

BAB 2 ISI

2.1 SYARAT SYAHNYA PERJANJIAN

Syarat sah perjanjian ada 4 (empat) terdiri dari syarat subyektif dan syarat objektif, diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu Syarat Subyektif (menyangkut para pembuatnya). Tidak dipenuhinya syarat dibawah ini, mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (voidable).
1. Sepakat (Pasal 1321 - 1328 KUHPerdata)
Supaya perjanjian menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian dan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Dalam preambule perjanjian (sebelum masuk ke pasal-pasal), biasa tuliskan sebagai berikut "Atas apa yang disebutkan diatas, Para Pihak setuju dan sepakat hal-hal sebagai berikut:"
Pencantuman kata-kata setuju dan sepakat sangat penting dalam suatu perjanjian. Tanpa ada kata-kata ini (atau kata-kata lain yang bermaksud memberikan ikatan atau setuju saja atau sepakat saja), maka perjanjian tidak memiliki ikatan bagi para pembuatanya. Setuju dan sepakat dilakukan dengan penuh kesadaran di antara para pembuatnya, yang bisa diberikan secara lisan dan tertulis.
Suatu perjanjian dianggap cacat atau dianggap tidak ada apabila:
  • mengandung paksaan (dwang), termasuk tindakan atau ancaman atau intimidasi mental.
  • mengandung penipuan (bedrog), adalah tindakan jahat yang dilakukan salah satu pihak, misal tidak menginformasikan adanya cacat tersembunyi.
  • mengandung kekhilafan/kesesatan/kekeliruan(dwaling), bahwa salah satu pihak memiliki persepsi yang salah terhadap subyek dan obyek perjanjian. Terhadap subyek disebut error in persona atau kekeliruan pada orang, misal melakukan perjanjian dengan seorang artis, tetapi ternyata perjanjian dibuat bukan dengan artis, tetapi hanya memiliki nama dengan artis. Terhadap obyek disebut error in substantia atau kekeliruan pada benda, misal membeli batu akik, ketika sudah dibeli, ternyata batu akik tersebut palsu
2. Cakap (Pasal 1329 - 1331 KUHPerdata)
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni
  • Orang yang belum dewasa (dibawah 21 tahun, kecuali yang ditentukan lain)
  • Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele or conservatorship); dan
  • Perempuan yang sudah menikah
Berdasarkan pasal 330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. Kemudian berdasarkan pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang No 1/1974 menyatakan bahwa kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai dia berusia 18 tahun.[1]
Berkaitan dengan perempuan yang telah menikah, pasal 31 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa masing-masing pihak (suami atau isteri) berhak melakukan perbuatan hukum.[2]
Selain itu khusus suami istri, mohon diperhatikan juga apakah dalam perkawinan terdapat perjanjian pisah harta.
Sindikat Notes: Maka dari itu, di dalam suatu perjanjian, terhadap pribadi individu para pihak, dicantumkan Nomor KTP, yang membuktikan kecakapan pihak untuk membuat suatu perjanjian. Apabila pihak tersebut adalah badan hukum misal PT, maka Direktur PT sebagai orang yang mewakili PT dalam tindakannya melakukan kepengurusan.
Syarat Obyektif (menyangkut para pembuatnya). Tidak dipenuhinya syarat dibawah ini, mengakibatkan perjanjian batal demi hukum (null and void).
3. Hal tertentu (Pasal 1332 - 1334 KUHPerdata)
Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak)yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (certainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable).[3]
4. Sebab yang halal (Pasal 1335 - 1337 KUHPerdata)
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal. Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak sah.[4]
Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.[5]
Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman.[6]
2.2 PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN

Kecakapan para pihak merupakan salah satu syarat subjektif dari sahnya perjanjian. Dan yang termasuk tidak cakap oleh KUHPer adalah orang-orang yang belum cukup umur, orang-orang yang ditempatkan di bawah pengampuan dan wanita bersuami. Akan tetapi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963, seorang istri berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.

Menurut Pasal 330 KUHPerdata yang belum cukup umur (dewasa) adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin sebelumnya. Jika belum berumur 21 namun telah menikah, maka dianggap telah dewasa secara perdata dan dapat mengadakan perjanjian.

Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.

Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Simak pula artikel Batalnya Suatu Perjanjian.

Jadi, bila perjanjian dibuat dengan anak di bawah umur, tidak serta merta membuat perjanjian tersebut batal demi hukum, tapi harus dimintakan pembatalannya ke Pengadilan Negeri.

2.3 SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
1.      kesempatan penarikan kembali penawaran;
2.      penentuan resiko;
3.      saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
4.      menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.
2.4 PELAKSAAN SUATU PERJANJIAN

Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain. Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian  itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja. Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian atau pun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena:
o   Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
o   Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
o   Terlibat hukum
o   Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan perjanjian.
o   Pekerja meninggal dunia.
o   Jangka waktu perjanjian kerja berakhir.
o   Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
o   Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan kerja, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

2.4 WANPRESTASI
Wanprestasi dapat berupa: (i) tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan; (ii) melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya; (iii) melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; atau (iv) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
            
Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, serta bunga. Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata.

BAB 3 PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang atau satu pihak berjanji pada seorang/pihak lain, dan dimana dua orang/dua pihak ituv saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (pasal 1313 KUHPer). Sedangkan perikatan adalah suatu perhubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak kepada salah satu untuk menuntutr barang sesuatu darin yang lainnya, sedangkan opihak lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itun melibatkan perikatan. Di dalam pasal 1320 KUHPer B.W untuk syahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.      Sepakat mereka yang mengakibatkan dirinya
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang halal


REFERENSI



Tidak ada komentar:

Posting Komentar