Hukum Perjanjian
BAB 1 PENDAHULAN
1.1 LATAR BELAKANG
Hukum perjanjian sering diartikan sama dengan hukum perikatan.
Hal ini berdasarkan konsep dan batasan definisi pada kata perjanjian dan
perikatan. Pada dasarnya hukum perjanjian dilakukan apabila dalam sebuah
peristiwa seseorang mengikrarkan janji kepada pihak lain atau terdapat dua
pihak yang saling berjanji satu sama lain untuk melakukan suatu hal.
Sedangkan, hukum perikatan dilakukan apabila dua pihak melakukan
suatu hubungan hukum, hubungan ini memberikan hak dan kewajiban kepada
masing-masing pihak untuk memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing
pihak untuk memberikan tuntutan atau memenuhi tuntutan tersebut.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
hukum perjanjian akan menimbulkan hukum perikatan. Artinya tidak akan ada
kesepakatan yang mengikat seseorang jika tidak ada perjanjian tertentu yang
disepakati oleh masing masing pihak.
1.2 TUJUAN MASALAH
Mahasiswa memahami dan
dapat menjelaskan tentang :
1.
Hukum Perjanjian
1.3 RUMUSAN MASALAH
1.
Apa saja syarat syahnya perjanjian ?
2.
Bagaimana pembatalan suatu perjanjian ?
3.
Kapan saat lahirnya perjanjian ?
4.
Kapan pelaksanaan suatu perjanjian ?
5.
Apa wanprestasi ?
BAB 2 ISI
2.1 SYARAT SYAHNYA PERJANJIAN
Syarat sah perjanjian ada 4 (empat) terdiri
dari syarat subyektif dan syarat objektif, diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
yaitu Syarat Subyektif (menyangkut para pembuatnya). Tidak dipenuhinya syarat
dibawah ini, mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (voidable).
1. Sepakat (Pasal
1321 - 1328 KUHPerdata)
Supaya perjanjian menjadi sah maka para pihak
harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian dan
memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa
yang disepakati. Dalam preambule perjanjian (sebelum masuk ke pasal-pasal),
biasa tuliskan sebagai berikut "Atas apa yang disebutkan diatas, Para
Pihak setuju dan sepakat hal-hal
sebagai berikut:"
Pencantuman kata-kata setuju dan
sepakat sangat penting dalam suatu perjanjian. Tanpa ada kata-kata ini
(atau kata-kata lain yang bermaksud memberikan ikatan atau setuju saja atau
sepakat saja), maka perjanjian tidak memiliki ikatan bagi para pembuatanya.
Setuju dan sepakat dilakukan dengan penuh kesadaran di antara para pembuatnya,
yang bisa diberikan secara lisan dan tertulis.
Suatu perjanjian dianggap cacat atau dianggap
tidak ada apabila:
- mengandung paksaan (dwang), termasuk
tindakan atau ancaman atau intimidasi mental.
- mengandung penipuan (bedrog), adalah
tindakan jahat yang dilakukan salah satu pihak, misal tidak
menginformasikan adanya cacat tersembunyi.
- mengandung
kekhilafan/kesesatan/kekeliruan(dwaling), bahwa salah satu
pihak memiliki persepsi yang salah terhadap subyek dan obyek perjanjian.
Terhadap subyek disebut error in persona atau kekeliruan
pada orang, misal melakukan perjanjian dengan seorang artis, tetapi
ternyata perjanjian dibuat bukan dengan artis, tetapi hanya memiliki nama
dengan artis. Terhadap obyek disebut error in substantia atau
kekeliruan pada benda, misal membeli batu akik, ketika sudah dibeli,
ternyata batu akik tersebut palsu
2. Cakap (Pasal
1329 - 1331 KUHPerdata)
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap
orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut
undang-undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada
beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni
- Orang yang belum dewasa
(dibawah 21 tahun, kecuali yang ditentukan lain)
- Mereka yang ditaruh di bawah
pengampuan (curatele or conservatorship); dan
- Perempuan yang sudah menikah
Berdasarkan pasal 330 KUHPerdata, seseorang
dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun
tetapi telah menikah. Kemudian berdasarkan pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang
No 1/1974 menyatakan bahwa kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di
bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai dia berusia 18 tahun.[1]
Berkaitan dengan perempuan yang telah
menikah, pasal 31 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa masing-masing
pihak (suami atau isteri) berhak melakukan perbuatan hukum.[2]
Selain itu khusus suami istri, mohon
diperhatikan juga apakah dalam perkawinan terdapat perjanjian pisah harta.
Sindikat Notes: Maka
dari itu, di dalam suatu perjanjian, terhadap pribadi individu para pihak,
dicantumkan Nomor KTP, yang membuktikan kecakapan pihak untuk membuat suatu
perjanjian. Apabila pihak tersebut adalah badan hukum misal PT, maka Direktur
PT sebagai orang yang mewakili PT dalam tindakannya melakukan kepengurusan.
Syarat Obyektif (menyangkut para pembuatnya).
Tidak dipenuhinya syarat dibawah ini, mengakibatkan perjanjian batal demi hukum (null
and void).
3. Hal tertentu
(Pasal 1332 - 1334 KUHPerdata)
Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu
perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak)yang paling sedikit
dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu dan
suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (certainty of terms),
berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah
pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan
jenisnya (determinable).[3]
4. Sebab yang halal
(Pasal 1335 - 1337 KUHPerdata)
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah
adanya kausa hukum yang halal. Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau
bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut
menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh seseorang mempunyai
objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak sah.[4]
Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata
menyatakan bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum.[5]
Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan
undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya
bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu
kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden) bukanlah
hal yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya
bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara
kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap
kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman.[6]
2.2 PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN
Kecakapan para pihak merupakan salah satu
syarat subjektif dari sahnya perjanjian. Dan yang termasuk tidak cakap oleh
KUHPer adalah orang-orang yang belum cukup umur, orang-orang yang ditempatkan
di bawah pengampuan dan wanita bersuami. Akan tetapi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963
tanggal 5 September 1963, seorang istri berwenang melakukan perbuatan
hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
Menurut Pasal 330 KUHPerdata yang belum cukup umur (dewasa) adalah
mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin
sebelumnya. Jika belum berumur 21 namun telah menikah, maka dianggap telah
dewasa secara perdata dan dapat mengadakan perjanjian.
Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat
subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi
syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.
Dapat dibatalkan artinya salah
satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap
mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas
permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap
atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).
Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak
pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Simak pula artikel Batalnya Suatu Perjanjian.
Jadi, bila perjanjian dibuat dengan anak di
bawah umur, tidak serta merta membuat perjanjian tersebut batal demi hukum,
tapi harus dimintakan pembatalannya ke Pengadilan Negeri.
2.3 SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian
mempunyai arti penting bagi :
1.
kesempatan penarikan kembali penawaran;
2.
penentuan resiko;
3.
saat mulai dihitungnya jangka waktu
kadaluwarsa;
4.
menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1)
BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa
perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak
pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW
bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan
kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang
dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia
memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian
sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende
wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan
tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi
(acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang
menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat
dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk
menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir
pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan
kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan
penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban
akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai
patokan tanggal lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak
adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak
adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka
atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada
alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya
kontrak.
2.4 PELAKSAAN SUATU PERJANJIAN
Perjanjian adalah suatu perbuatan
dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain. Itikad
baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk
menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus
megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk
memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan
hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya
perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan
mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat
pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara
sepihak saja. Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang
membuat perjanjian atau pun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh
salah satu pihak biasanya terjadi karena:
o Adanya
suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu
yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
o Pihak
pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau
secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
o Terlibat
hukum
o Tidak lagi
memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan perjanjian.
o Pekerja
meninggal dunia.
o Jangka
waktu perjanjian kerja berakhir.
o Adanya
putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
o Adanya
keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan kerja, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
2.4 WANPRESTASI
Wanprestasi dapat berupa: (i) tidak
melaksanakan apa yang diperjanjikan; (ii) melaksanakan yang diperjanjikan tapi
tidak sebagaimana mestinya; (iii) melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi
terlambat; atau (iv) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan.
Pihak yang merasa dirugikan akibat
adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian
atau meminta ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti
kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian
yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, serta bunga.
Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata.
BAB
3 PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seorang atau satu pihak berjanji pada seorang/pihak lain, dan dimana dua
orang/dua pihak ituv saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (pasal 1313
KUHPer). Sedangkan perikatan adalah suatu perhubungan hukum (mengenai kekayaan
harta benda) antara dua orang yang memberi hak kepada salah satu untuk
menuntutr barang sesuatu darin yang lainnya, sedangkan opihak lainnya
diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Dengan demikian hubungan antara perikatan dan
perjanjian adalah perjanjian itun melibatkan perikatan. Di dalam pasal 1320
KUHPer B.W untuk syahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.
Sepakat mereka yang mengakibatkan dirinya
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.
Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab yang halal
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar